KENAIKAN HARGA BBM: KEBIJAKAN REZIM NEOLIBERAL ANTEK
ASING
Menurut hasil survei Lembaga Survei
Nasional (LSN), sebanyak 86,1% responden menolak rencana pemerintah menaikkan
harga BBM, 12,4% setuju dan 1,5% responden menyatakan tidak tahu. Tapi
Pemerintah melalui Menko Ekuin, menyatakan kenaikan harga BBM bersubsidi akan
dilakukan paling lambat 17 Juni 2013. Kenaikan itu sesuai dengan selesainya
rapat paripurna soal Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Perubahan
(RAPBNP 2013).
Keputusan terkait kenaikan BBM ini
seakan mengulang sandiwara politik sidang paripurna DPR tentang kenaikan BBM
pada tahun 2012 lalu, hanya judulnya yang berbeda. Kalau tahun 2012 judulnya: BBM naik atau Tidak,
sandiwara politik kali ini judulnya: Kompensasi
kenaikan BBM untuk rakyat miskin disetujui atau tidak .
Subsidi Bebani APBN ?
Subsidi baik BBM dan lainnya sering
dikatakan jadi beban APBN karena menyedot alokasi APBN. Padahal
istilah subsidi BBM itu masih dipertanyakan. Benarkah
Pemerintah selama ini memberikan subsidi atau sebaliknya justru rakyat yang
memberikan subsidi untuk Pemerintah dan kepentingan para kapitalis? Besaran
subdidi BBM di APBN 2013 hanya Rp Rp193,8 triliun atau sekitar 12% dari
total APBN. Faktanya, yang membebani APBN adalah utang dan pemborosan APBN.
Tahun 2013 pembayaran bunga utang sebesar Rp. 113,2 triliun dan pokoknya Rp.
58, 4 triliun dan Surat Utang Negara yang jatuh tempo tahun 2013 sebesar Rp. 71
triliun sehingga totalnya Rp 241 triliun atau 21 % dari belanja APBN, padahal
sebagian besar utang itu hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Subsidi
Tak Adil ?
Kasus pemilik Toyota Alphard yang menggunakan premium mungkin dianggap
mengusik rasa keadilan. Namun, perlu diingat mereka juga memiliki kontribusi
dalam membayar pajak, di mana dalam sistem ekonomi kapitalis pendapatan
negara terbesar adalah pajak. Dalam APBN-P 2012 total penerimaan negara dari
pajak sebesar Rp 1.101 T atau sekitar 82% dari total penerimaan APBN. Yang
terbesar dari pajak tersebut adalah PPh (pajak penghasilan) non-migas sebesar
Rp 445,7 T dan PPN sebesar Rp. 355,2 T.
Iklan pemilik mobil mewah terus
disiarkan berulang-ulang untuk menunjukkan bahwa subsidi salah sasaran.
Ironisnya Pemerintah tak pernah mengeluhkan subsidi untuk para kapitalis atau
perusahaan asing, mulai subsidi pajak atau yang disebut dengan Tax Holiday, Subsidi BLBI yang besarnya Rp 144
triliun, Dana Rekapitulasi Perbankan hampir Rp 500 triliun, penyelamatan Bank
Century sebesar Rp 6,7 triliun. Kasus paling akhir adalah Bantuan Dana dari
APBN-P Tahun 2012 sebesar 1,3 T untuk korban Lumpur Lapindo yang seharusnya
menjadi tanggung jawab perusahaan tetapi diambil alih/disubsidi
oleh Pemerintah. Padahal Pemilik Grup Lapindo adalah salah satu dari 40
orang terkaya di Indonesia. Namun, dia justru diberi bantuan atau subsidi dari
APBN untuk kasus Lapindo sejak tahun 2007 sampai saat ini mencapai Rp
7,2 T. Ironisnya, grup perusahaan tersebut sempat menunggak atau
menggelapkan pajak.
Itu semua yang menikmati adalah orang
kaya, sementara yang membayar adalah rakyat melalui APBN yang bersumber dari
pajak, inikah yang disebut adil?
Sementara di sisi lain, banyak potensi
penerimaan negara hilang karena kebijakan Pemerintah yang lebih pro asing
daripada rakyat sendiri. Misal, menurut anggota BPH Migas, A. Qoyum
Tjandranegara, potensi kerugian negara tahun 2006-2009 mencapai 410,4 T karena
harga jual gas yang dijual ke Cina sangat murah, yang itu sama artinya
mensubsidi rakyat Cina. Belum lagi ditambah kerugian tak langsung akibat PLN
tidak bisa mendapat gas karena dijual ke luar negeri. PLN harus memakai BBM
yang harganya mahal sehingga PLN harus melakukan pemborosan biaya sekitar
Rp 37 triliun dalam jangka waktu 2 tahun.
BLSM
dan Utang Negara
Menurut Pemerintah, hasil penghematan
subsidi BBM akan dialihkan untuk rakyat miskin salah satunya BLSM. Tapi menurut
Ichsanudin Noorsy, itu sebenarnya bohong. Terlebih lagi jumlah penghematan yang
diperoleh pemerintah dengan menaikkan BBM sebenarnya tidak banyak, hanya
sekitar Rp. 17,5 T (lihat http://www.lensaindonesia.com/2013/05/29/).
Menurut Ichsanudin Noorsy, sebenarnya
program BLSM itu dibiayai dari utang. Buktinya, tertera di laman situs Asian
Development Bank (ADB) yang menyatakan bahwa BLSM bersumber dari utang ADB
dengan nama singkatan proyek DPSP (Development Policy Support
Program). Selain itu, juga dibiayai Bank Dunia (World Bank) dengan
sumber utang dengan nama proyek DPLP tahap 3. Karena itulah tahun ini utang
pemerintah terus membengkak. Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Kemenkeu, posisi utang Pemerintah pusat (utang LN dan surat berharga) pada
April 2013 telah mencapai Rp2.023,72 triliun, naik sekitar Rp433.06 triliun
dari posisi akhir 2009 sebesar Rp1.590,66 triliun. Anehnya walaupun Harga BBM
akan naik, pemerintah tetap berencana menambah utang baru Rp 390 triliun.
Begitulah, salah satu penyebab APBN Indonesia
tidak sehat sebenarnya adalah utang. Hampir 25% per tahun belanja negara untuk
bayar bunga utang dan pokoknya. Indonesia sudah masuk debt trap (jeratan utang). Misalnya, dalam
APBN-P sudah ditetapkan defisit sekitar Rp 190,1 triliun atau 2,23% dengan
rencana akan ditutupi dari utang dalam negeri sebesar Rp 194,5 triliun dan
utang luar negeri sebesar minus Rp 4,4 triliun (artinya total utang LN
berkurang Rp 4,4 triliun). Ternyata jumlah itu habis dan tidak cukup untuk
membayar cicilan utang. Pada tahun 2012 besarnya cicilan utang mencapai
Rp 261,1 triliun (cician pokok Rp 139 triliun dan cicilan bunga Rp 122,13
triliun). Jadi seluruh utang yang ditarik di tahun 2012 sebenarnya bukan
untuk membiayai pembangunan tetapi untuk membayar cicilan utang. Itu pun belum
cukup dan harus mengurangi alokasi APBN yang seharusnya bisa untuk membiayai
pembangunan
Kenaikan
BBM : Kebijakan Rezim Neoliberal Antek Asing
Rencana kenaikan harga BBM, atau secara
lebih luas penghapusan subsidi, tidak lain adalah amanat liberalisasi dalamMemorandum of Economic and Financial Policies (LoI
IMF, Januari 2000). Juga perintah Bank Dunia dengan menjadikannya syarat
pemberian utang seperti tercantum di dalam dokumen Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank,
2001). Itulah sebenarnya alasan mendasar semua program pengurangan subsidi,
termasuk pengurangan subsidi energi (BBM dan listrik). Juga tertuang dalam
dokumen program USAID, TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened,
497-013 yang menyebutkan: “Tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan
sektor energi untuk membantu membuat sektor energi lebih efisien dan
transparan, dengan jalan meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator,
mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta…”
Karena itu, pengurangan subsidi bahkan
sampai penghapusan subsidi bagi pemerintah dianggap sebuah amanat bahkan
kewajiban yang harus dipenuhi, meski harus memberatkan rakyat. Untuk itu di
dalam Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025
Kementerian ESDM dinyatakan: Program utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan
alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional.
Artinya, pencabutan subsidi BBM.
Meski berbagai alasan dikemukakan
Pemerintah, namun yang pasti, kenaikan harga BBM yang terus didesakkan sejak
lama hingga sekarang ini jelas akan sangat menguntungkan swasta khususnya
asing. Sejak awal sudah dikemukakan oleh menteri ESDM kala itu Purnomo
Yusgiantoro, bahwa kenaikan harga BBM memang untuk membuka kesempatan bagi
pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas (lihat, Kompas,14 Mei 2003).
Selama ini beberapa SPBU non Pertamina sepi pembeli dan mereka mengalami
kerugian besar, bahkan sebagian sudah tutup. Inilah alasan sebenarnya
Pemerintah menaikkan harga BBM yaitu untuk mengikuti keinginan para kapitalis
sebagaimana yang terungkap dalam dokumen World Bank: “ Utang-utang untuk reformasi
kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan
pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja
publik…Banyak subsidi, khususnya pada BBM, cenderung regresif dan merugikan
orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya.
Kenaikan BBM saat ini, sebenarnya hanya
membuktikan bahwa Rezim saat ini adalah rezim Neoliberal dan antek asing karena
kenaikan Harga BBM adalah amanat asing yang dilegalkan melalui UU Migas yang
disahkan oleh DPR, di setujui oleh Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan oleh
Pemerintah. Perbedaan pendapat mereka selama ini hanya sandiwara politik untuk
menipu dan membohongi rakyat.
Campakkan
Rezim dan Sistem Neoliberal, Tegakkan Syariah dan Khilafah.
Wahai kaum muslimin, belum cukupkah
kezaliman sistem kapitalis yang diterapkan oleh rezim neoliberal terhadap kita
? Masih perlukah Sistem dan Rezim Neoliberal ini kita biarkan terus menimpa
kita? Tentu saja tidak. Karena itu mari satukan upaya baik tenaga, pikiran
maupun harta untuk mengakhiri sistem dan rezim neoliberal ini. Sebagai gantinya
kita segera terapkan syariah Islam secara total termasuk pengelolaan migas dan
SDA lainnya. Jalannya hanya satu, melalui penerapan syariah Islam secara kaffah
dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. Saat itulah SDA dan
migas akan jadi berkah yang menyejahterakan seluruh rakyat dan umat manusia.
Ingatlah Janji dan peringatan Allah SWT:
“Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS al-A`raf [7]: 96)
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.[]
(Diambil dari Buletin Al-Islam Hizbut Tahrir Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar